Minggu, 18 Desember 2011

fikih jinayah


1.SUMBER-SUMBER FIQIH JINAYAH SERTA UNSUR-UNSURNYA.
1.Sumber Fiqih Jinayah
Sumber fiqih jinayah sebenarnya sama saja dengan sumber-sumber fiqh secara umum yakni:
1.         Sumber Pertama adalah Al-Quran
Al-Quran adalah kitab suci dari Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril dan ditulis dalam bentuk mushaf , dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan Surat an-Nas.
Datangnya kalimat al-Qur’an bersifat qat’i, maka pengertian kata-kata al-Qur’an bersifat qat’i (qat’i dalalah), artinya hanya mempunyai pengertian satu semata-mata tanpa lainnya, dan kadang-kadang bisa Zhanni (Zhanniyud-dalalah).
2.         Sumber Kedua adalah Sunnah
Sunnah dalam bahasa Arab berarti tradisi, kebiasaan, adat istiadat. Dalam terminologi Islam, sunnah berarti perbuatan, perkataan, dan perizinan Nabi Muhammad Saw. Pengertian sunnah tersebut sama dengan pengertian hadist. Al-Hadis dalam bahasa Arab berarti berita atau kabar. Namun demikian, ada yang membedakan pengertian sunnah dengan hadis. Oleh karena itu, keduanya menjadi sumber hukum dan sumber pedoman hidup badi setiap muslim.

3.         Sumber Ketiga adalah Ijma
Ijma’ adalah kebulatan kesepakatan semua mujtahidin terhadap suatu pendapat hukum yang mereka sepakati bersama, baik dalam pertemuan maupun secara terpisah-pisah maka hukumnya menjadi mengikat. Ijma’ merupakan dalil qat’i, akan tetapi kalau hukum tersebut hanya keluar dari kebanyakan mujtahidin, maka hanya dianggap sebagai dalil dhanni, dan bagi perseorangan boleh mengikuti, sedang bagi orang-orang tingkatan mujtahidin boleh berpendapat lain, selama oleh para penguasa tidak diwajibkan melaksanakannya.
Ijma’ harus mempunya dasar, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw., karena ijma’ tidak boleh didasarkan atas kesukaan hati sendiri, melainkan harus ditegakkan atas aturan-aturan Syara’. Kebulatan mujtahidin dalam suatu kesepakatan hukum tertentu menunjukkan dengan pasti bahwa hukum tersebut sesuai dengan ketentuan syara’.
Kekuatan ijma’ sebagai sumber hukum yang mengikat ditentukan al-Qur’an dan Sunnah.

“Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri...” (an-Nisa’: 59)
4.         Sumber Keempat adalah Qiyas
Qiyas adalah Mempersamakan hukum suatu Perkara yang belum ada ketetapan hukumnya dengan suatu perkara yang sudah ada ketetapan hukumnya. Persamaaan Ketentuan hukum yang dimaksud didasari oleh adanya unsure-unsur kesamaan yang sudah ketetapan hukumnya dengan yang belum ada ketertapan hukumnya disebut illat.
Qiyas memiliki Empat Rukun yaitu :
1.Dalil
2.Masalah yang di Qiyaskan
3.Hukum yang terdapat pada dalil
4.Kesamaan alas an/sebab terhadap masalah yang di Qiyaskan.

2.Unsur-Unsur Fiqih Jinayah
Dalam Menentukan Suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam hukum islam, diperlukan Unsur normative dan moral sebagai berikut :
1.      Secara Yuridis  UnsurNormatif dari satu aspek didasari oleh suatu dalil yang menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan hukuman. Aspek lainnya secara yuridis normative mempunyai unsure Materiil yaitu sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadapsesuatu yang diperintahkan Oleh Allah Swt.
2.      Unsur Moral yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat di pertanggung jawabkan. Dalam hal ini disebut Mukallaf. Mukallaf adalah orang islam yang sudah Baliqh dean berakal sehat.

Selain Unsur-unsur hukum pidana  diatas, maka perlu diungkapkan bahwa hukum pidan islam  dapat dilihat dari berberapa segi yaitu sebagai berikut :
1.Dari segi Berat atau ringannya Hukuman dibedakan mejadi Tiga Bagian yaitu :
a.       Jarimah Hudud
Adalah  jarimah yang diancam dengan Hukuman Had. Menurut Abdul Qodir, Audah Pengertian Had adalah Hukuman yang telah ditentukan Syara` dan merupakan hak Allah Swt.
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang asal artinya sesuatu   yang membatasi di antara dua benda. Menurut bahasa, kata had berarti al-man’u (cegahan) Adapun menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama.
Tindak pidana Hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam hukum pidana Islam. Karena terkait erat dengan kepentingan publik. Namun tidak berarti kejahatan hudud tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali. Kejahatan hudud ini terkait dengan Hak Allah
Tindak pidana ini diancam dengan hukuman hadd, yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah. Ini berarti bahwa baik kuantitas maupun kualitas ditentukan dan ia tidak mengenal tingkatan serta harus dilaksanakan.
Hudud adalah sanksi yang kadarnya telah ditetapkan oleh syariat bagi suatu tindak kemaksiatan tertentu; ia tidak bisa dikurangi, ditambah, atau diganti; tidak pula pelakunya dapat diberi pengampunan. Pezina ghayra muhshan (bujang/belum kawin), misalnya, harus dihukum cambuk 100 kali berdasarkan firman Allah SWT berikut:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (2) )سورة النور(2:
Artinya : Pezina wanita dan laki-laki, cambuklah masing-masing dengan 100 kali cambukan, dan janganlah kalian menaruh belas kasihan kepada keduanya dalam menjalankan agama Allah. (QS An-Nur : 2).
Demikian pula pencuri, ia harus dipotong tangannya jika nilai harta yang dicurinya telah melampaui kadar tertentu (yakni 1/4 dinar berdasarkan Hadis Nabi saw. [1 dinar = 4,25 gram emas] sesuai dengan firman Allah SWT berikut:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (38)
).سورة المائدة(38:
Artinya : Pencuri laki-laki dan pencuri wanita, potonglah masing-masing tangannya sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS AI-Maidah : 38).
Beberapa tindakan kemaksiatan lain yang terkategori ke dalam bab hudud dan wajib dikenai sanksi had adalah: liwath (homoseksual), qadzaf (menuduh berzina), minum khamr, pembegalan, bughat (memberontak terhadap Khalifah yang sah), dan murtad.


II.PENGERTIAN TURUT SERTA BERBUAT  JARIMAH.
Jarimah terbagi menjadi dua:pertama ada yang dibuat seorang diri dan ada juga yg di buat bersama apabila diperbuat oleh beberapa orang, maka bentuk-bentuk kerjasama antara mereka tidak lebih dari empat, yaitu pembuat melakukan jarimah bersama-sama orang lain ( memberikan bagiannya dalam melaksanakan jarimah). Artinya secara kebetual melakukan bersama-sama,pembuat mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk melaksanakan jarimah.pembuat menghasut orang lain untuk memperbuat jarimah,memberi bantuan atau kesempatan untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai cara, tanpa turut berbuat.
Untuk membedakan turut berbuat  langsung dengan turut berbuat tidak lan gsung, maka dikalangan fuqaha terdapat dua golongan yaitu:
a)      Orang yang turut berbuat secara langsung dalam melaksanakan jarimah, di sebut Syarik Mubasyir dan perbuatannya disebut Isytirak Mubasyir ( Audah, 1969, 361 ).
b)      Orang yang turut berbuat tidak secara langsung dalam melaksanakan jarimah. Disebut “ Syarik Mutasbbih” dan perbuatannya disebut Isytirak Ghairu Mubasyir atau isytirak bit-tasabbubi ( Audah, 1969, 361 ).

Turut Berbuat Secara Langsung dan Turut Berbuat Secara Tidak Langsung
orang yang memperbuat jarimah sendirian atau bersama-sama orang lain. Missal, jika masing-masing dari tiga orang mengarahkan tembakan kepada seseorang lalu seseorang tersebut mati karena tembakan itu, maka ketiga orang tersebut dianggap melakukan pembunuhan. Demikian juga dalam hal pencurian berjama;ah. Dalam hal ini fuqaha juga memisahkan apakah kerjasama itu dilakukan secara kebetulan (tawafuq) atau memang sudah direncanakan bersama-sama (tamalu). Menurut kebanyakan fuqaha ada perbedaan pertanggungjawaban peserta antara tawafuq dan tamalu. Pada tawafuq, masing-masing peserta hanya bertanggungjawab atas akibat perbuatannya saja, dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Akan tetapi pada tamalu, para peserta harus mempertanggungjawabkan akibat perbuatannya sebagai keseluruhan. Jika korban mati maka masing-masing peserta dianggap sebagai pembunuh.
Menurut Abu Hanifah, antara tawafuq dan tamalu sama saja hukumannya, yaitu masing-masing peserta hanya bertanggungjawab atas atas perbuatannya sendiri.
Kedua, juga dipandang sebagai turut-berbuat-langsung peserta yang menjadi sebab (tidak langsung), apabila pembuat-langsung hanya kaki tangannya semata-mata.













III.PEMBUKTIAN DAN PELAKSANAAN HUKUMAN JARIMAH ZINA DAN TUDUHAN ZINA.
A . Pembuktian jarimah zina
            Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa pembuktian jarimah zina dapat dilakukan melalui kesaksian dan pengakuan dari pihak pelaku. Apabila alat bukti jarimah zina ini adalah para saksi, maka disyaratkan para saksi tersebut berjumlah empat orang laki-laki. Hal ini berdasarkan firman allah dalam Q.S. An-nisa : 15 yang artinya:
“ dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu yang menyaksikannya” (Q.S An-Nissa : 15)
            Menurut para ahli fiqh, kesaksian yang dapat diterima sebagai pembuktian jarimah zina harus memenuhi syarat sebagai berikut :Para saksi telah baligh dan berakal ,Terdiri dari empat orang laki-laki ,Keempat saksi melihat sendiri perbuatan itu dilakukan pada satu tempat,Para saksi orang muslim dan adil SePara saksi tita dak mempunyai halangan syara’ untuk menjadi saksi  
Ulama fiqh juga sepakat menerima pengakuan (ikrar) sebagai pembuktian jarimah zina. Pengakuan itu dikemukakan oleh orang yang melakukan zina di depan hakim. Adapun syarat-syarat pengakuan sebagai alat bukti jarimah zina adalah sebagai berikut:
1.      Orang yang mengaku itu dalam keadaan baligh dan berakal sehat.
2.      Pengakuan itu muncul dari seorang yang mampu melakukan hubungan seksual.
3.      Ulama mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali mengatakan bahwa pengakuan itu dikemukakan di hadapan hakim secara lisan dan jelas. Namun ulama mazhab Syafe’i membolehkan pengakuan itu melalui isyarat yang dapat dipahami jika yang mengaku tersebut bisu.
4.      Pengakuan dilakukan secara sadar, bukan karena dipaksa.

B. Pembuktian jarimah qodzaf
      1. Persaksian                                                                                                                         
             Jarimah qadzaf dapat dibuktikan dengan persaksian dan persyaratan persaksian jarimah qodzaf sama dengan persyaratan persaksian jarimah zina. Bagi orang yang menufuh zina itu dapat mengambil beberapa kemungkinan yaitu: (Imaning, 2009, hal : 120)
a)      Memungkiri tuduhan itu dengan mengajukan persaksian cukup satu orang laki-laki atau perempuan.
b)      Membuktikan bahwa yang dituduh mengakui kebenaran tuduhan dan untuk ini cukup dua orang laki-laki atau seorang laki-laki atau dua orang perempuan.
c)      Membuktikan kebenaran tuduhannya secara penuh dengan mengajukan empat orang saksi’
d)     Bila yang dituduh itu istrinya ia menolak tuduhannya maka suami yang menuduh itu dapat mengajukan sumpah li’an.
2.  Pengakuan
               Yakni si penuduh mengakui bahwa telah melakukan tuduhan zina kepada seseorang. Menurut Imam Syafe’i tuduhan itu dapat dibuktikan dengan sumpah.
C. Pelaksanaan hukuman jarimah zina
       Syariat Islam telah menetapkan 3 jenis hukuman untuk jarimah zina yaitu :
1.      Dera (jilid)
Hukum dera ditetapkan untuk pelaku zina ghoirun muhshon. Hukum dera merupakan hukum cambuk yang jumlahnya seratus kali, yang didasarkan kepada firman Allah SWT Q.S An-Nur : 2 yang artinya:
“ perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah setiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, Jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang beriman” (Q.S An-Nur : 2)

2.      Pengasingan (taghrib)
Apabila pelaku perzinahan tersebut adalah ghoir muhshan maka keduanya di dera dan diasingkan. Dan apabila yang satu muhshan dan yang satu lagi ghoir muhshan  maka yang muhshon dirajam sementara yang muhshan didera dan diasingkan. Hukuman yang dijatuhkan untuk zina ghoir muhshan lamanya adalah 1 tahun, ketentuan ini berdasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW dari Ubadah Ibn Shamit ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“............ jejaka dan gadis di dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun... “ (H.R Jamaah kecuali Al-Bukhari dan An- Nasa’i)

3.      Rajam
Hukuman rajam adalah hukuman dengan jalan dilempari dengan batu yang dikenakan kepada pelaku zina muhshan baik laki-laki ataupun perempuan. Namun para fuqaha dari kalangan khawarij tidak mengakui adanya hukuman ini karena tidak terdapat dalam Al-Quran. Akan tetapi fuqaha yang lain sepakat atas eksistensi hukuman ini karena sumbernya dari As-Sunnah baik qauliyah ataupun fi’liyah. (Ahmad Wardi, 2004, Hal : 145)
      Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa hukuman dera atau rajam bagi pelaku zina yang terbukti melalui pengakuan (al-ikrar) dilaksanakan oleh hakim atau yang mewakilinya.  Hukuman bagi pelaku jarimah zina, menurut kesepakatan ahli fiqh, harus dilakukan dtempat terbuka dan ramai dikunjungi orang. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S An-Nur:2 yang artinya:
“ dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan  orang-orang yang beriman.” (Q.S An-Nur : 2)
      Untuk pelaksanaan hukuman dera boleh dilakukan oleh satu orang saja, tapi pelaksanaan hukuman rajam dianjurkan agar dilaksanakan secara beramai-ramai karena jumlah rajam tersebut tidak terbatas. Ulama fiqh berpendapat bahwa dalam pelaksaan hukuman rajam, apabila yang dihukum itu laki-laki, maka hukuman dilaksanakan baginya dalam posisi berdiri. Apabila yang dirajam itu wanita, menurut ulama mazhab Hanafi, Syafe’i dan salah satu pendapat dikalangan ulama Mazhab Hanbali, boleh digalikan lubang sampai batas dadanya. Namun mengenai hal ini  terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab.
D. Pelaksanaan hukuman jarimah qodzaf
      Ulama fiqh mengemukakan ada dua hukuman bagi pelaku qodzaf  yaitu  dera 80 kali dan persaksiannya tidak bisa diterima. (Imaning, 2009, hal : 121)
 Dasar  hukum yang menunjukan hukuman ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S An-Nur : 4 yang artinya:
“ dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (penuduh) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya” (Q.S An-Nur : 4)
      Hukuman 80 Kali dera tidak boleh dikurangi, ditambah, atau diubah, dan hakim tidak boleh memaafkan hukuman tersebut. Hukuman lain yang dikenakan kepada pelaku Qodzaf  adalah hilangnya hak kesaksian sampai ia tobat. Hal ini sesuai denga firman Allah SWT dalam Q.S An-Nur : 5 yang artinya:
“ kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki dirinya, maka sesungguhnya Allah maha pengampun dan penyanyang.”( Q.S An-nur : 5)


RESUME FIQIH JINAYAH
IAIN Warna2.jpg






NAMA                      :Ide yuda
NIM                          :11160707

FAKULTAS SYARIAH
 JURUSAN JINAYAH SIYASAH
IAIN RADEN FATAH PALEMBANG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar