1.SUMBER-SUMBER FIQIH JINAYAH SERTA
UNSUR-UNSURNYA.
1.Sumber Fiqih Jinayah
Sumber fiqih jinayah
sebenarnya sama saja dengan sumber-sumber fiqh secara umum yakni:
1.
Sumber Pertama
adalah Al-Quran
Al-Quran adalah
kitab suci dari Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui
malaikat Jibril dan ditulis dalam bentuk mushaf , dimulai dari surat al-Fatihah
dan diakhiri dengan Surat an-Nas.
Datangnya kalimat
al-Qur’an bersifat qat’i, maka pengertian kata-kata al-Qur’an bersifat qat’i
(qat’i dalalah), artinya hanya mempunyai pengertian satu semata-mata tanpa
lainnya, dan kadang-kadang bisa Zhanni (Zhanniyud-dalalah).
2.
Sumber Kedua adalah Sunnah
Sunnah dalam bahasa
Arab berarti tradisi, kebiasaan, adat istiadat. Dalam terminologi Islam, sunnah
berarti perbuatan, perkataan, dan perizinan Nabi Muhammad Saw. Pengertian
sunnah tersebut sama dengan pengertian hadist. Al-Hadis dalam bahasa Arab
berarti berita atau kabar. Namun demikian, ada yang membedakan pengertian
sunnah dengan hadis. Oleh karena itu, keduanya menjadi sumber hukum dan sumber
pedoman hidup badi setiap muslim.
3.
Sumber Ketiga adalah Ijma
Ijma’ adalah
kebulatan kesepakatan semua mujtahidin terhadap suatu pendapat hukum yang
mereka sepakati bersama, baik dalam pertemuan maupun secara terpisah-pisah maka
hukumnya menjadi mengikat. Ijma’ merupakan dalil qat’i, akan tetapi kalau hukum
tersebut hanya keluar dari kebanyakan mujtahidin, maka hanya dianggap sebagai
dalil dhanni, dan bagi perseorangan boleh mengikuti, sedang bagi orang-orang
tingkatan mujtahidin boleh berpendapat lain, selama oleh para penguasa tidak
diwajibkan melaksanakannya.
Ijma’ harus mempunya
dasar, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw., karena ijma’ tidak boleh
didasarkan atas kesukaan hati sendiri, melainkan harus ditegakkan atas
aturan-aturan Syara’. Kebulatan mujtahidin dalam suatu kesepakatan hukum
tertentu menunjukkan dengan pasti bahwa hukum tersebut sesuai dengan ketentuan
syara’.
Kekuatan ijma’
sebagai sumber hukum yang mengikat ditentukan al-Qur’an dan Sunnah.
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan
Ulil Amri...” (an-Nisa’: 59)
4.
Sumber Keempat adalah Qiyas
Qiyas
adalah Mempersamakan hukum suatu Perkara
yang belum ada ketetapan hukumnya dengan suatu perkara yang sudah ada ketetapan
hukumnya. Persamaaan Ketentuan hukum yang dimaksud didasari oleh adanya
unsure-unsur kesamaan yang sudah ketetapan hukumnya dengan yang belum ada
ketertapan hukumnya disebut illat.
Qiyas memiliki
Empat Rukun yaitu :
1.Dalil
2.Masalah yang
di Qiyaskan
3.Hukum yang
terdapat pada dalil
4.Kesamaan alas
an/sebab terhadap masalah yang di Qiyaskan.
2.Unsur-Unsur Fiqih Jinayah
Dalam Menentukan Suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam hukum
islam, diperlukan Unsur normative dan moral sebagai berikut :
1.
Secara Yuridis UnsurNormatif dari
satu aspek didasari oleh suatu dalil yang menentukan larangan terhadap perilaku
tertentu dan diancam dengan hukuman. Aspek lainnya secara yuridis normative
mempunyai unsure Materiil yaitu sikap yang dapat dinilai sebagai suatu
pelanggaran terhadapsesuatu yang diperintahkan Oleh Allah Swt.
2.
Unsur Moral yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang
secara nyata mempunyai nilai yang dapat di pertanggung jawabkan. Dalam hal ini
disebut Mukallaf. Mukallaf adalah orang islam yang sudah Baliqh dean berakal
sehat.
Selain Unsur-unsur hukum pidana
diatas, maka perlu diungkapkan bahwa hukum pidan islam dapat dilihat dari berberapa segi yaitu
sebagai berikut :
1.Dari segi
Berat atau ringannya Hukuman dibedakan mejadi Tiga Bagian yaitu :
a.
Jarimah Hudud
Adalah jarimah yang diancam dengan
Hukuman Had. Menurut Abdul Qodir, Audah Pengertian Had adalah Hukuman yang
telah ditentukan Syara` dan merupakan hak Allah Swt.
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang
asal artinya sesuatu yang membatasi di
antara dua benda. Menurut bahasa, kata had berarti al-man’u (cegahan) Adapun
menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan
oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang
sama.
Tindak pidana Hudud adalah kejahatan yang
paling serius dan berat dalam hukum pidana Islam. Karena terkait erat dengan
kepentingan publik. Namun tidak berarti kejahatan hudud tidak mempengaruhi
kepentingan pribadi sama sekali. Kejahatan hudud ini terkait dengan Hak Allah
Tindak pidana ini diancam dengan hukuman hadd,
yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah. Ini berarti bahwa baik
kuantitas maupun kualitas ditentukan dan ia tidak mengenal tingkatan serta
harus dilaksanakan.
Hudud adalah sanksi yang kadarnya telah
ditetapkan oleh syariat bagi suatu tindak kemaksiatan tertentu; ia tidak bisa
dikurangi, ditambah, atau diganti; tidak pula pelakunya dapat diberi
pengampunan. Pezina ghayra muhshan (bujang/belum kawin), misalnya, harus
dihukum cambuk 100 kali berdasarkan firman Allah SWT berikut:
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا
تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ (2) )سورة النور(2:
Artinya : Pezina wanita dan laki-laki,
cambuklah masing-masing dengan 100 kali cambukan, dan janganlah kalian menaruh
belas kasihan kepada keduanya dalam menjalankan agama Allah. (QS An-Nur :
2).
Demikian pula pencuri, ia harus dipotong
tangannya jika nilai harta yang dicurinya telah melampaui kadar tertentu (yakni
1/4 dinar berdasarkan Hadis Nabi saw. [1 dinar = 4,25 gram emas] sesuai dengan
firman Allah SWT berikut:
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ
اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (38)
).سورة المائدة(38:
Artinya : Pencuri laki-laki dan pencuri
wanita, potonglah masing-masing tangannya sebagai balasan atas apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
(QS AI-Maidah : 38).
Beberapa tindakan kemaksiatan lain yang
terkategori ke dalam bab hudud dan wajib dikenai sanksi had adalah: liwath (homoseksual),
qadzaf (menuduh berzina), minum khamr, pembegalan, bughat (memberontak terhadap
Khalifah yang sah), dan murtad.
II.PENGERTIAN TURUT SERTA BERBUAT
JARIMAH.
Jarimah terbagi
menjadi dua:pertama ada yang dibuat seorang diri dan ada juga yg di buat
bersama apabila diperbuat oleh beberapa orang, maka bentuk-bentuk kerjasama
antara mereka tidak lebih dari empat, yaitu pembuat melakukan jarimah
bersama-sama orang lain ( memberikan bagiannya dalam melaksanakan jarimah).
Artinya secara kebetual melakukan bersama-sama,pembuat mengadakan persepakatan
dengan orang lain untuk melaksanakan jarimah.pembuat menghasut orang lain untuk
memperbuat jarimah,memberi bantuan atau kesempatan untuk dilakukannya jarimah
dengan berbagai cara, tanpa turut berbuat.
Untuk membedakan turut berbuat langsung dengan turut berbuat tidak lan
gsung, maka dikalangan fuqaha terdapat dua golongan yaitu:
a)
Orang yang
turut berbuat secara langsung dalam melaksanakan jarimah, di sebut Syarik
Mubasyir dan perbuatannya disebut Isytirak Mubasyir ( Audah, 1969,
361 ).
b)
Orang yang
turut berbuat tidak secara langsung dalam melaksanakan jarimah. Disebut “
Syarik Mutasbbih” dan perbuatannya disebut Isytirak Ghairu Mubasyir atau
isytirak bit-tasabbubi ( Audah, 1969, 361 ).
Turut Berbuat Secara Langsung dan Turut Berbuat
Secara Tidak Langsung
orang yang memperbuat jarimah sendirian atau
bersama-sama orang lain. Missal, jika masing-masing dari tiga orang mengarahkan
tembakan kepada seseorang lalu seseorang tersebut mati karena tembakan itu,
maka ketiga orang tersebut dianggap melakukan pembunuhan. Demikian juga dalam
hal pencurian berjama;ah. Dalam hal ini fuqaha juga memisahkan apakah
kerjasama itu dilakukan secara kebetulan (tawafuq) atau memang sudah
direncanakan bersama-sama (tamalu). Menurut kebanyakan fuqaha ada
perbedaan pertanggungjawaban peserta antara tawafuq dan tamalu.
Pada tawafuq, masing-masing peserta hanya bertanggungjawab atas akibat
perbuatannya saja, dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Akan
tetapi pada tamalu, para peserta harus mempertanggungjawabkan akibat
perbuatannya sebagai keseluruhan. Jika korban mati maka masing-masing peserta
dianggap sebagai pembunuh.
Menurut Abu Hanifah, antara tawafuq dan tamalu
sama saja hukumannya, yaitu masing-masing peserta hanya bertanggungjawab atas
atas perbuatannya sendiri.
Kedua, juga dipandang sebagai
turut-berbuat-langsung peserta yang menjadi sebab (tidak langsung), apabila
pembuat-langsung hanya kaki tangannya semata-mata.
III.PEMBUKTIAN DAN PELAKSANAAN HUKUMAN JARIMAH ZINA DAN TUDUHAN
ZINA.
A . Pembuktian jarimah zina
Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa pembuktian jarimah zina dapat
dilakukan melalui kesaksian dan pengakuan dari pihak pelaku. Apabila alat bukti
jarimah zina ini adalah para saksi, maka disyaratkan para saksi tersebut
berjumlah empat orang laki-laki. Hal ini berdasarkan firman allah dalam Q.S.
An-nisa : 15 yang artinya:
“ dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu yang menyaksikannya” (Q.S An-Nissa : 15)
Menurut para ahli
fiqh, kesaksian yang dapat diterima sebagai pembuktian jarimah zina harus
memenuhi syarat sebagai berikut :Para saksi telah baligh dan berakal ,Terdiri
dari empat orang laki-laki ,Keempat saksi melihat sendiri perbuatan itu
dilakukan pada satu tempat,Para saksi orang muslim dan adil SePara saksi tita dak
mempunyai halangan syara’ untuk menjadi saksi
Ulama fiqh juga sepakat menerima
pengakuan (ikrar) sebagai pembuktian jarimah zina. Pengakuan itu dikemukakan
oleh orang yang melakukan zina di depan hakim. Adapun syarat-syarat pengakuan
sebagai alat bukti jarimah zina adalah sebagai berikut:
1.
Orang yang mengaku itu dalam keadaan baligh dan berakal sehat.
2.
Pengakuan itu muncul dari seorang yang mampu melakukan hubungan
seksual.
3.
Ulama mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali mengatakan bahwa pengakuan
itu dikemukakan di hadapan hakim secara lisan dan jelas. Namun ulama mazhab
Syafe’i membolehkan pengakuan itu melalui isyarat yang dapat dipahami jika yang
mengaku tersebut bisu.
4.
Pengakuan dilakukan secara sadar, bukan karena dipaksa.
B. Pembuktian jarimah qodzaf
1. Persaksian
Jarimah qadzaf
dapat dibuktikan dengan persaksian dan persyaratan persaksian jarimah qodzaf
sama dengan persyaratan persaksian jarimah zina. Bagi orang yang menufuh zina
itu dapat mengambil beberapa kemungkinan yaitu: (Imaning, 2009, hal : 120)
a)
Memungkiri tuduhan itu dengan mengajukan persaksian cukup satu
orang laki-laki atau perempuan.
b)
Membuktikan bahwa yang dituduh mengakui kebenaran tuduhan dan untuk
ini cukup dua orang laki-laki atau seorang laki-laki atau dua orang perempuan.
c)
Membuktikan kebenaran tuduhannya secara penuh dengan mengajukan
empat orang saksi’
d)
Bila yang dituduh itu istrinya ia menolak tuduhannya maka suami
yang menuduh itu dapat mengajukan sumpah li’an.
2.
Pengakuan
Yakni si
penuduh mengakui bahwa telah melakukan tuduhan zina kepada seseorang. Menurut
Imam Syafe’i tuduhan itu dapat dibuktikan dengan sumpah.
C. Pelaksanaan hukuman jarimah zina
Syariat Islam telah
menetapkan 3 jenis hukuman untuk jarimah zina yaitu :
1.
Dera (jilid)
Hukum dera ditetapkan untuk pelaku zina ghoirun muhshon. Hukum dera
merupakan hukum cambuk yang jumlahnya seratus kali, yang didasarkan kepada
firman Allah SWT Q.S An-Nur : 2 yang artinya:
“ perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah
setiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, Jika kamu beriman
kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang beriman” (Q.S An-Nur : 2)
2.
Pengasingan (taghrib)
Apabila pelaku perzinahan tersebut adalah ghoir muhshan maka keduanya
di dera dan diasingkan. Dan apabila yang satu muhshan dan yang satu lagi ghoir
muhshan maka yang muhshon dirajam
sementara yang muhshan didera dan diasingkan. Hukuman yang dijatuhkan untuk
zina ghoir muhshan lamanya adalah 1 tahun, ketentuan ini berdasarkan pada
hadits Nabi Muhammad SAW dari Ubadah Ibn Shamit ra bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
“............ jejaka dan gadis di dera seratus kali dan pengasingan
selama satu tahun... “ (H.R Jamaah kecuali Al-Bukhari dan An- Nasa’i)
3.
Rajam
Hukuman rajam adalah hukuman dengan jalan dilempari dengan batu
yang dikenakan kepada pelaku zina muhshan baik laki-laki ataupun perempuan.
Namun para fuqaha dari kalangan khawarij tidak mengakui adanya hukuman ini
karena tidak terdapat dalam Al-Quran. Akan tetapi fuqaha yang lain sepakat atas
eksistensi hukuman ini karena sumbernya dari As-Sunnah baik qauliyah ataupun
fi’liyah. (Ahmad Wardi, 2004, Hal : 145)
Ulama fiqh sepakat
menyatakan bahwa hukuman dera atau rajam bagi pelaku zina yang terbukti melalui
pengakuan (al-ikrar) dilaksanakan oleh hakim atau yang mewakilinya. Hukuman bagi pelaku jarimah zina, menurut
kesepakatan ahli fiqh, harus dilakukan dtempat terbuka dan ramai dikunjungi
orang. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S An-Nur:2 yang artinya:
“ dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.” (Q.S An-Nur : 2)
Untuk pelaksanaan
hukuman dera boleh dilakukan oleh satu orang saja, tapi pelaksanaan hukuman
rajam dianjurkan agar dilaksanakan secara beramai-ramai karena jumlah rajam
tersebut tidak terbatas. Ulama fiqh berpendapat bahwa dalam pelaksaan hukuman
rajam, apabila yang dihukum itu laki-laki, maka hukuman dilaksanakan baginya
dalam posisi berdiri. Apabila yang dirajam itu wanita, menurut ulama mazhab
Hanafi, Syafe’i dan salah satu pendapat dikalangan ulama Mazhab Hanbali, boleh
digalikan lubang sampai batas dadanya. Namun mengenai hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama
mazhab.
D. Pelaksanaan hukuman jarimah qodzaf
Ulama fiqh mengemukakan
ada dua hukuman bagi pelaku qodzaf
yaitu dera 80 kali dan
persaksiannya tidak bisa diterima. (Imaning, 2009, hal : 121)
Dasar hukum yang menunjukan hukuman ini berdasarkan
firman Allah SWT dalam Q.S An-Nur : 4 yang artinya:
“ dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berbuat zina dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (penuduh)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk
selama-lamanya” (Q.S An-Nur : 4)
Hukuman 80 Kali dera
tidak boleh dikurangi, ditambah, atau diubah, dan hakim tidak boleh memaafkan
hukuman tersebut. Hukuman lain yang dikenakan kepada pelaku Qodzaf adalah hilangnya hak kesaksian sampai ia
tobat. Hal ini sesuai denga firman Allah SWT dalam Q.S An-Nur : 5 yang artinya:
“ kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki
dirinya, maka sesungguhnya Allah maha pengampun dan penyanyang.”( Q.S An-nur :
5)
RESUME FIQIH
JINAYAH
NAMA :Ide yuda
NIM :11160707
FAKULTAS
SYARIAH
JURUSAN JINAYAH SIYASAH
IAIN RADEN
FATAH PALEMBANG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar